DEMAGOGIK DALAM PENDIDIKAN
Berdirinya sebuah lembaga
pendidikan seperti sekolah dimaksudkan untuk mencerdasan kehidupan bangsa. Mulai
dari Taman Kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan
tinggi. Melatih peserta didik untuk berpikir secara rasional. Mengubah dari
yang tak tahu menjadi tahu, dari yang kurang baik menjadi baik. Namun, sangat
disesali jika ada seorang peserta didik yang gagap dalam mengikuti proses
belajarnya justru dikeluarkan dari sekolah begitu saja tanpa ada pembinaan yang
jelas sebelumnya. Diksi menyerah tidak layak diterima akal sehat apabila keluar
dari seorang pemimpin sekaligus seorang pendidik. Bagaikan prajurit yang
memilih bunuh diri sebelum berperang.
Keputusan untuk mengeluarkan
peserta didik yang mungkin sulit untuk dibimbing merupakan perbuatan yang
sangat tidak bertanggung jawab karena apa gunanya ada lembaga pendidikan jika
tidak mampu mendidik. Sekolah yang hanya bisa mengurusi administrasi sebaiknya
dibubarkan saja sebab tidak layak menjadi bagian dari suatu lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan yang layak itu mampu memanusiakan manusia. Orientasi lembaga
pendidikan jangan hanya mematuk pada prinsip-prinsip kapitalis bengis ala barat
yang sudah sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai Islam.
Madrasah yang merupakan varian
lain dalam bidang pendidikan sepatutnya berpedoman pada ajaran Islam bukan
justru berkiblat pada sistem kapitalis barat yang bengis. Ketika ada peserta
didik yang berbuat kesalahan ada baiknya langsung dibimbing agar anak menjadi
paham bahwa perilakunya keliru. Berbisnis boleh saja dan sah-sah saja tapi
dalam bisnis pun ada etika dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Jika hanya
memikirkan nama baik sekolah saja yang belum tentu akreditasinya itu didapatkan
dengan cara yang benar.
Ketika hak dan kewajiban sebuah
madrasah tidak sejalan lagi dengan nilai-nilai Islam dan prinsip pedagogi,
apakah masih layak istilah “Madrasah” itu disematkan? Bukankah tujuan
pendidikan itu mengubah yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak paham menjadi
paham, yang menyimpang agar kembali ke jalan yang benar?? Apakah semua itu
hanya omong kosong belaka untuk menyembunyikan praktik dari kapitalis yang
bengis?? Kita harus jernih melihat kasus perilaku menyimpang dari peserta didik
yang terjadi. Hukuman memang harus diberikan sebagai bagian dari proses
pendidikan. Menggunakan hukuman sebagai alat pendidikan sangat mungkin
diterapkan. Tetapi, apakah kriteria tatkala menjatuhkan hukuman yang mendidik
sudah dipenuhi sekolah atau hanya sekadar lepas tangan lalu cuci tangan supaya
nama sekolah tetap baik???
Keputusan mengembalikan peserta
didik kepada orangtuanya untuk dibimbing memang 
merupakan penerapan sanksi atas pelanggaran tata tertib sekolah yang
sudah dibuat oleh pihak sekolah dan orangtua hanya mengikuti saja tanpa tahu
atas dasar apa suatu peraturan tersebut dibuat. Akumulasi point pelanggaran
tata tertib sekolah sudah melampaui yang ditentukan, maka peserta didik wajib
dikeluarkan. Cara berpikir semacam itu termasuk sesat karena sistem sekolah
yang masih menerapkan poin-point pelanggaran sedang terjebak dalam kubangan
pragmatisme yang sempit dan dangkal yang sudah menghina sambil meludahi
falsafah pendidikan.
Jika kita tidak munafik dalam
menilai kehidupan yang terjadi di sekitar kita sewajarnya paham jika ada banyak
kasus anak yang dikeluarkan dari sekolah yang berakhir putus sekolah, hilang
semangat juangnya untuk belajar, pupus harapan dan cita-citanya dan semua
kehancuran itu yang berkontribusi besar adalah lembaga pendidikan yang tidak
mampu lagi menerapkan prinsip pedagoginya. Boro-boro membuat anak jera, justru
sesungguhnya telah melanggar hak anak dalam mendapatkan akses pendidikan.
Tugas pendidikan itu sangat
mulia. Tugas mulia inilah yang diemban para pendidik dan tenaga kependidikan
yang direpresentasikan dalam bentuk lembaga pendidikan bernama sekolah. MJ
Langeveld menyatakan, “pendidikan adalah upaya menolong anak untuk dapat
melakukan tugas hidupnya secara mandiri supaya dapat bertanggung jawab secara
susila” Pendidikan merupakan usaha manusia dewasa dalam membimbing manusia yang
belum dewasa menuju kedewasaan.
Apabila mengeluarkan siswa dari
sekolah masih dipergunakan dalam praktik pendidikan, maka tugas mulia
pendidikan itu telah gagal diemban sekolah. Setidaknya sekolah yang
merepresentasikan sebagai manusia dewasa telah gagal membimbing manusia yang
belum dewasa menuju kedewasaan.
Selain itu, sekolah telah gagal
membangun budaya sekolah yang menuntun segala kekuatan kodrat anak didik agar
menjadi manusia dan anggota masyarakat yang mampu mencapai keselamatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya. Pantas kiranya sekolah gagal semacam ini tidak
terakreditasi. Berapapun nilai capaian hasil akreditasinya!
Sosok Ki Hajar Dewantara memiliki
pendapat tentang guru yang disampaikan dalam bentuk semboyan, yaitu ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Semboyan
itu berasal dari ajaran filosofi Jawa yang sangat dalam dan luas. Filosofi itu
bisa digunakan sebagai tuntunan hidup hingga cara menjalankan sebuah
pendidikan. Filosofi Jawa tersebut menekankan pentingnya keseimbangan dan
keadilan dalam menjalani hidup.
Dalam bahasa Jawa, "Ing
Ngarsa Sung Tuladha" berarti "di depan menjadi contoh atau
pautan".
Sementara "Ing Madya Mangun
Karsa" bermakna "di tengah memberi atau membangun semangat, niat,
maupun kemauan".
"Tut Wuri Handayani"
sendiri dapat diterjemahkan sebagai "di belakang memberikan semangat atau
dorongan".

Komentar
Posting Komentar