Ia Terus Menyusun Pecahan Cermin
Dia tak habis pikir bagaimana bisa cermin yang telah hancur kerkeping-keping itu terpasang rapi di dinding kamarnya, padahal cermin itu baru saja terjatuh beberapa jam yang lalu. Ia tiba-tiba teringat, sebelum cermin itu terjatuh ada seekor tikus yang berlarian dibelakangnya. Padahal cerminnya sudah diikat dengan sangat kuat. Serpihan cermin itu berserakan di lantai dan kasurnya. Gawainya berdering sambil bergetar beribu kali dan berhenti setelah lelah. Pagi hari yang semestinya indah, namun ia harus disibukkan dengan membersihkan lantai dan kasurnya dari pecahan cermin itu, sehingga ia terlambat untuk menonton bioskop dengan teman perempuannya.
Jari telunjuknya sobek tersayat pecahan kaca dan beberapa serpihan cermin menginap di telapak kaki kanannya yang menjadikannya terluka akibat ia terburu-buru dan ceroboh ketika mengumpulkan pecahan-pecahan cermin. Teman perempuannya melihat luka ditangannya lantas memberikannya plester sambil mengoceh ke lelaki itu yang sekaligus mantan pacarnya. Sesampainya di rumah ia menemukan sebuah cermin besar sudah terpasang rapi di dinding kamarnya. Ia sangat terkejut, entah siapa yang sudah membelikannya sekaligus memasangnya. Seingat dia, ibunya masih berada dirumah neneknya semenjak neneknya jatuh sakit. Ayahnya sudah dua pekan berdinas di Manokwari.
"Tidak mungkin, ibu yang membelikannya" tanyanya keheranan
"Apakah kamu bermimpi?" tanya teman perempuannya
"Astagfirullah" menghela nafas
Bagaimana bisa cermin yang sudah pecah berantakan, berhamburan, berhamparan lalu ditinggal pergi bisa kembali utuh lagi? Untuk dapat mengetahuinya izinkan aku membawamu ke dua bulan sebelumnya.
Dua Bulan Lalu...
Saat itu ia merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi dalam perasaannya dan setelah membuka pintu ia menemukan sesuatu terbungkus kertas cokelat tersandar di samping pintu kamarnya. Ia tak melihat ada tanda-tanda kurir yang mengirim paket atau bunyi hentakan kaki yang menghampiri pintu rumahnya. Ia semakin penasaran sampai-sampai memanjat ke atap barangkali ada seseorang yang iseng memberikannya paket itu. Ia melirik ke segala penjuru untuk memastikan tidak ada lensa yang menjadinkannya suatu objek. Ia terus mencari keterangan-keterangan yang tersisa.
Keterangan yang paling terlihat jelas tertulis pada bagian bawah paket itu dan hanya menemukan bahwa benda itu ditujukan padanya dengan tinta basah dan gaya tulisan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Namanya tertulis jelas di sana dan ia yakin di tempat itu atau di mana pun tak ada yang memiliki nama seperti itu selain dirinya. Maka, meski heran, bingung dan cemas, ia membawa benda yang terbungkus kertas cokelat itu ke kamarnya, dan ia semakin bingung menemukan bahwa benda yang terbungkus di dalamnya ternyata adalah sebuah cermin besar berbentuk lingkaran. Cermin yang cukup besar untuk menampilkan dirinya secara penuh. Ia merasa ada dua ekor tikus yang berdecit-decit di dalam kepalanya.
Disandarkan cermin besar itu sambil dilap dan ia mulai menebak-nebak siapa orang iseng yang telah meletakkan benda itu di depan kamarnya. Padahal cermin di kamar mandinya sudah cukup untuk melihat dirinya. Siapa pun ia, tentunya ia tahu bahwa aku tidak suka sekali bercermin dan cerminku baru saja hancur karena terjatuh dan kubuang saat itu juga. Tapi ia gagal menemukan satu nama atau sebuah bayangan dari sosok yang sudah mengirimnya cermin sebesar itu. Memang ada beberapa orang yang tahu betul bahwa ia jarang sekali bercermin dan beberapa kali temannya melukis wajah seekor monyet pada cerminnya.
Namun sekali lagi, ia merasa tak pernah memberi tahu siapa pun tentang cerminnya yang hancur. Tidak kali itu. Tidak kali-kali sebelumnya. Siapa pun si pengirim, pastilah ia memiliki cara untuk mengetahui apa-apa yang terjadi di kamar ini meski tak kukatakan. Ia pun menengadah dan mencari-cari sesuatu serupa kamera tersembunyi yang mungkin telah dipasang di kamar itu tanpa pernah ia tahu. Ia mencarinya, di sudut-sudut kamar, di kolong-kolong kamar, di toilet, dan di tempat-tempat yang mencurigakan. Namun, ia hanya mendapati kesia-siaan. Ia merasa lelah dan memutuskan untuk memikirkan lagi cermin besar itu nanti. Dijatuhkannya kasur busa yang semula tersandar di dinding dan ia rebahkan tubuhnya di sana sambil terus memikirkan siapa pengirim cermin itu. Tanpa ia sadari, ia pun terlelap.
Ia duduk diantara kabut hitam pekat dan merah merekah. Penasaran ia berdiri dan berusaha sekuat tenaga untuk menebas-nebas kabut itu. Pada ujung jalan ia temukan setitik cahaya yang diyakini jalan keluar dari dekapan kabut yang tak bisa membuatnya melihat arah. Setelah berhasil menghapus kabut yang menghalinginya, dari kejauhan ia melihat pacarnya tengah asyik bergandengan tangan dengan pria lain. Ia berlari sekencang-kencangnya hanya guna memastikan apa yang terlihat benar adanya. Semakin ia berlari mendekati pacarnya, sosok pacarnya semakin jauh dan penglihatannya semakin kabur.
tikk.. tik.. tik... Wajahnya terkena gemericik air hujan yang jatuh dari atapnya yang bocor dan ia pun terbangun dari mimpi yang membuatnya naik darah sekaligus pasrah. Apakah benar bahwa mimpi itu hanya bunga atau suatu pertanda? Ia terbangun namun enggan untuk bangkit. Terus memikirkan mimpinya semalam. Detak jantungnya berdebar kencang sekali bak bertemu dajjal lalu digampar.
Ia tidak baru sekali atau dua kali memimpikan pacarnya dibawa oleh pria lain. Pada suatu malam setelah ia bertemu dengan pacarnya ia juga memimpikan bahwa pacarnya sedang bersetubuh dengan pria lain di sebuah kamar dengan seprei serba putih. Pada mimpi yang barusan ia alami, disana terlihat jelas dan terasa nyata bahwa sosok perempuan itu adalah pacarnya dan laki-laki itu adalah seorang yang ia sebut teman dekatnya. Detak jantungnya semakin kencang dan tak beraturan. Ia tinggalkan tempat tidurnya, menuju dapur untuk menyeduh secangkir kopi.
"Apakah benar dugaanku selama ini ya?" renungnya sambil menyeruput kopi panas
Ketika ia duduk di beranda, ia kembali menerka-nerka siapa orang yang telah iseng mengirim cermin sebesar itu dan kembali ia menarik napas panjang. Sungguh aneh, rasanya kecuali aku menceritakannya secara tak sadar, maka tak ada siapa pun yang bisa tahu bahwa aku saat ini membutuhkan cermin baru. Setelah kopinya habis ia mengambil gawai untuk memberi kabar ke pacarnya bahwa ia masih hidup dan masih mencintainya seperti biasa, sekaligus menanyakan apakah pacarnya tahu-menahu soal cerminnya yang rusak dan cermin besar yang baru saja menjadi miliknya itu. Seperti yang ia duga, pacarnya tidak tahu apa-apa. Upayanya justru menjadi bumerang baginya sebab belahan jiwanya mengatakan sesuatu yang membuatnya kembali merasakan ada dua ekor tikus yang seolah mengolok-olok di dalam kepalanya.
“Jangan-jangan kau punya perempuan lain dan dialah yang mengirimimu cermin itu.” tanya pacarnya
Ia harus menghela napas dulu beberapa kali sebelum akhirnya berusaha meyakinkan pacarnya bahwa ia orang yang setia dan ia meminta maaf telah mengganggu dengan pertanyaan bodoh soal cermin besar itu. Setelah percakapan jarak jauh berakhir, sebelum ia mandi, ia menyandarkan cermin besar itu di tempat yang menurutnya tepat, dan memanteknya dengan sangat kuat. Dengan cermin sebesar ini aku bisa melihat seluruh tubuhku yang sempurna, diriku yang mengagumkan ini, pikirnya. Cermin ini sungguh besar dan aku menyukainya, sambungnya.
Keesokan harinya ketika ia terbangun dan mematut-matut diri di depan cermin, ia menemukan sosok asing dirinya di cermin itu bukanlah yang biasanya ia temukan. Tak ada kesempurnaan yang memancar. Baik wajah maupun tubuh maupun tangan maupun kaki tak sanggup membuatnya ingin berlama-lama melihatnya.
"Aneh" gumamnya.
Ia menggosok-gosok matanya dan menatap lagi dirinya di cermin itu setelah beberapa kali ia masih melihat sama saja. Antara cermin itu telah salah memantulkan dirinya atau ia masih terlampau linglung pagi itu. Begitulah yang ia simpulkan. Setengah jam kemudian ketika ia berdiri di depan cermin itu sambil berpakaian, dengan tubuh yang bersih-wangi dan rambut yang menurutnya tertata rapi, masih saja, sosok di cermin itu tak mencerminkan ia yang biasanya. Ia merasa telah kehilangan dirinya.
Malamnya ketika ia berdiri lagi di depan cermin itu, ia lihat, sosok dirinya begitu lusuh. Tak pernah selama ini ia melihat dirinya selusuh itu. Cermin itu menampakkan dirinya dalam wujud yang lebih buruk. Ia pikir, jika ia sedang dalam kondisi segar, kesegaran itu hilang. Jika ia sedang kuyu, kekuyuan itu bertambah. Seperti ada proses pengurangan kualitas atas sosoknya sebelum akhirnya permukaan cermin itu memantulkannya. Itulah yang ia yakini setelah melakukan ritual bercermin di pagi hari dan malam hari dan menemukan di cermin itu sosoknya tak setangguh yang ia ingat.
Ia telah menceritakan keanehan cermin itu kepada dua orang teman terdekatnya —yang satu rekan kantor dan yang satu teman tongkrongan— dan tanggapan kedua orang itu menurutnya sama saja: tak menanggapinya dengan serius dan malah mengolok-oloknya. Menurut rekan kerjanya, ia mungkin terlalu sibuk bekerja beberapa bulan terakhir ini dan karenanya lelah dan akibatnya sering mengalami halusinasi.
“Tapi tak mungkin salah lihat apalagi halu, aku alami sampai tujuh hari berturut-turut,” bantahnya.
Teman tongkrongannya menduga ia terlalu sering menonton video porno sehingga penglihatannya mulai memburuk dan berhalusinasi.
“Tapi ketika aku bercermin di cermin lain aku temukan sosok diriku yang biasanya,” sergahnya.
Hal itu memang benar. Selama tujuh hari itu ia telah bercermin di beberapa cermin yang ia temui. Di kaca spion, di toilet kantor, di bioskop. Bahkan ketika sedang berjalan santai menyusuri trotoar dengan pacarnya, ia menyempatkan diri untuk berhenti saat menemukan sosoknya di sebuah jendela toko, jendela mobil atau rumah makan. Dan sosoknya itu, di cermin-cermin dan jendela-jendela itu, adalah sosok yang ia kenali. Wajah itu, tubuh itu, tangan itu, kaki itu. Semuanya membuat ia tertahan untuk berlama-lama melihatnya. Ketika diceritakannya hal itu kepada pacarnya, perempuan itu memberinya sebuah pemahaman yang membuatnya tersentak,
“Mungkin dirimu yang sebenarnya adalah yang kau lihat di cermin barumu itu. Di cermin-cerminmu sebelumnya, kau hanya melihat apa yang kau bayangkan tentang dirimu.”
"Hmmmm" terdiam berbelas-belas menit lamanya mendengar pernyataan itu terlontar dari pacarnya.
“Jadi, maksudmu, selama ini yang kulihat ketika aku bercermin adalah apa yang kubayangkan di kepalaku tentang diriku sendiri?” tanyanya.
“Bisa jadi,” jawab pacarnya.
“Dan itu berarti aku yang sebenarnya tidaklah mengagumkan seperti yang kulihat itu. Begitu maksudmu?”
“Iya mungkin saja, kan?”
Ia tidak senang mendengar pernyataan itu terlontar dari pacarnya dan lebih tak senang lagi karena jawaban-jawaban pendek perempuan itu seperti sebuah penyangkalan atas keyakinannya tentang dirinya selama ini. Lalu, sebuah ide melintas di benaknya. Ia mengatakan kepada pacarnya bahwa malam itu ia ingin membawa perempuan itu ke kamarnya. Pacarnya tersenyum, mungkin mengira kalimat itu adalah ajakan halus untuk bercinta. Mereka memang berada di kamar malam itu tapi tidak untuk bercinta melainkan untuk memastikan bahwa apa yang ia lihat sama dengan apa yang pacarnya lihat. Ia merangkul perempuan itu dari belakang, mengecup pipinya, lantas ia bertanya,
“Bagaimana? Apa yang kau lihat di cermin itu? Bagaimana rupaku, juga rupamu?”
“Sama seperti biasanya. Tak ada yang berbeda darimu sayang” tersenyum lantas menciumnya
Besoknya dan besoknya dan besoknya lagi ia menghubungi pacarnya itu dan mengajukan pertanyaan yang sama seolah-olah mengharapkan jawaban lain akan didengarnya. Tapi tidak. Jawaban yang diberikan pacarnya itu tetap sama. Lima kali ia mengajukan pertanyaan itu, lima kali pula ia mendengar jawaban itu. Pada kali keenam ia akan mengajukan pertanyaan itu lagi, dan nomor pacarnya sedang tak aktif.
Pacarnya mengatakan padanya bahwa baru mau menerima ajakannya untuk bertemu jika ia sudah bisa mengatasi masalah dirinya dengan cermin itu. Maka begitulah, pada suatu sore ia memecahkan cermin itu dengan melempar gawainya. Pecahan-pecahan cermin itu berserakan dan ia mengumpulkan pecahan cermin itu dan malam harinya, ia temukan cermin itu terpasang utuh di dinding kamarnya. Ia sempat berpikir untuk memecahkannya lagi pada saat itu juga, namun tak jadi dan hanya mencuci muka dan menggosok gigi, lantas berbaring dan terlelap.
Besoknya saat terbangun dan berdiri di depan cermin itu, ia merasa marah, dan akhirnya melempar setrikaan dan cermin itu pun pecah. Namun, malam harinya, saat ia memasuki kamar, ia temukan lagi cermin itu terpasang utuh, di tempat yang sama, dengan posisi yang sama. Dan ia memecahkannya lagi besok paginya. Dan malam harinya ia temukan cermin itu seperti tak tersentuh sama sekali.
Selama lima hari berturut-turut hal itu terus terjadi dan ia mulai merasa dua ekor tikus benar-benar mengusik pikiran dan batinnya yang semakin hari decitannya semakin mengganggunya. Pada hari keenam, ia putuskan untuk menghubungi pacarnya dan mengakui bahwa ia sesungguhnya belum berhasil mengatasi masalah cermin itu, dan ia meminta perempuan itu mengerti dan mungkin membantunya.
"Bisakah kau menemuiku dan membantuku menyelesaikan masalah ini?"
“Memangnya bantuan apa yang bisa kuberikan?” tanya pacarnya.
“Entahlah. Tapi kupikir kau bisa melakukan sesuatu,” jawabnya.
“Sesuatu apa?” terdengar suara pria yang sedang mengobrol dengannya
“Entahlah.”
Percakapan berakhir di situ dan setelahnya ia tak bisa lagi menghubungi si pacar. Seorang diri ia memikirkan apa yang sebenarnya tengah dialaminya, bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana cara mengakhirinya jika cara itu ada. Sesekali ia memikirkan suara pria yang terdengan sedang mengobrol dengan pacarnya. berselang sebelas jam pacarnya baru membalas pesan singkatnya. Sudah memasuki jam tidur pacarnya baru membalas, ia bingung dan curiga kenapa selama itu dia menghilang tidak seperi biasanya. Akhir-akhir ini pacarnya memang sulit dihubungi, sekali pun sempat membalas pesan pacarnya hanya membalas singkat tanpa ada pertanyaan yang diajukan seperti biasa. Mungkin saja pacarnya sudah mendapatkan pria yang baik tidak sepertiku. Ia bersyukur jika pacarnya memang mendapatkan pria yang lebih baik darinya sekaligus heran kenapa tidak terus terang saja kepadanya.
Di kepalanya dua ekor tikus itu kembali berdecit-decit. Decitannya begitu mengganggu sampai-sampai ia hanya bisa berbaring dan baru bisa terlelap ketika hari sudah berganti. Di siang hari ketika ia libur, jam di gawainya sudah menunjukkan pukul sebelas siang namun belum ada kabar dari pacarnya. Ia sengaja menahan diri untuk tidak mengabari lebih dahulu karena ia merasa lelah dan merasa sudah tidak diinginkan lagi oleh pacarnya. Satu jam, dua jam, hingga empat jam berlalu pacarnya belum juga memberinya kabar. Ia kesal lalu melempar gawainya ke arah cermin, cerminnya pun hancur dan ia kembali merebahkan badannya dan terlelap dengan perasaan yang gundah.
Malam harinya ketika ia terbangun cermin itu tetap hancur, puing-puing pecahannya masih berserakan di lantai. Ia bergegas mengambil sapu dan ijazah SDnya yang sudah dilaminating untuk cepat-cepat membersihkannya sebelum ia menginjaknya. Entah kenapa di hari ini ia merasakan suatu kehilangan yang lengkap. Ia berusaha keras merangkai kembali pecahan-pecahan cermin itu untuk disatukan, namun ia selalu mendapatkan kegagalan. Cermin yang sudah hancur itu ia paksa untuk menyatu tetapi setelah ia gunakan untuk melihat dirinya yang ia lihat hanyalah mosaik dirinya yang sudah tidak utuh lagi.
Satu tahun kemudian ia berdiri di depan cermin itu dan tersenyum kepada sesosok perempuan yang dilihatnya merangkul sosoknya di cermin itu dari belakang. Perempuan itu, kau tahu, bukanlah perempuan yang pernah berdiri bersamanya di malam hari di depan cermin itu empat belas bulan yang lalu.
Komentar
Posting Komentar