Capitalism of Love
Danu
seorang mahasiswa semester akhir di perguruan tinggi negeri di Bandung yang
menggantungkan cita-citanya pada prodi seni rupa, prodi yang sudah diincarnya
sejak bisa membedakan warna biru, merah, kuning, ungu, dan kelabu serta garis
bengkok maupun garis lurus, dan berharap setelah lulus mendapat pekerjaan dengan
gaji besar. Anak kedua dari lima bersaudara ini nekat merantau ke Bandung demi
cita-cita luhurnya sejak kelas 1 SMP yang sangat ia rindukan. Dia ingin menjadi
pelukis terkaya dan terkenal sedunia bagai Leonardo Da Vinci, tokoh idolanya.
Danu bukan dari keluarga kaya raya, ia dibesarkan di perkampungan kecil di desa
Warungpring, Jawa Tengah. Ibu bapanya adalah seorang petani, kakanya guru, dan
adik-adiknya masih bersekolah. Bermodalkan sangu cekak, IQ dan SQ yang cukup, ia menantang diri untuk hidup di ibukota Jawa
Barat.
Hari ini,
Selasa daun-daun masih berselimut embun dan ayam masih mengantukkan paruhnya ke
langit, aku mengikuti instruksi SBMPTN mandiri, pagi itu sedang ujan namun yang
basah hanya tubuhku yang dibungkus kemeja putih. Ketika membuka ruang ujian
tiba-tiba ruangan itu menjelma persawahan seperti disekitar rumahku dan padi yang
sudah menguning siap dieksekusi. Enam puluh menit dua puluh satu detik berlalu,
aku meninggalkan ruangan sambil menerka-nerka hasil tesku. Sore hari sangat
basah, langit mendung namun terselip mega, dan kabut mengepul menjelma wajah
Leonardo da Vinci.
Hari yang
aku tunggu-tunggu pun tiba, berkunjung ke website LTMPT mencari dengan sabar
dan cermat namaku pada kolom Pengumuman Penerimaan Mahasiswa Baru dan tak
disangka-sangka namaku berada dipuncak klassmen dan mengantarkanku langsung
menjadi mahasiswa resmi di perguruan tinggi negeri itu. ”Alhamdulillah!” Sudah
aku kemas semua keperluanku selama kuliah, aku izin dan meminta doa serta restu
orangtuaku untuk belajar di Bandung. Tahun berganti begitu cepat tak terasa
akan memasuki semester ke-6. Aku dan Wawan teman satu kostku pergi mencari
kedai kopi untuk bersantai setelah berpekan-pekan dibantai tugas, setibanya
disana aku melihat menu kopi yang sempat tenar dikampungku, kopi Galing. Kopi
dari jenis arabika ini bagiku menyimpan filosofis dan kenikmatan khas, mungkin
saja akan terasa beda nikmatnya dengan yang dirasakan oleh orang lain. Aku
duduk berhadap ke jendela diseberang sana seorang perempuan melambai ke arahku
namun tak aku hiraukan, mungkin saja ia hanya memanggil pelayan atau temannya.
Kabut mulai merabunkan pandangan, temanku mengajak untuk pulang, diperjalanan
aku bertemu dengan perempuan yang tadi melambai ke arahku ternyata dia adalah
temannya Wawan dari prodi teknik arsitektur.
“Hi, namaku Ferliyana, kamu bisa panggil aku Ana
atau Yana” teduh senyumnya
“Iya, aku Danu teman satu kostnya Wawan” jawabku
“Kamu asli Bandung”? tanya Ana
“Nggak, aku dari Pemalang” masih berjabat tangan
“Ooh, aku pikir kamu asli sini”
“Kamu pulang sama siapa, Na? tanya Wawan
“Sendiri, kebetulan rumahku dekat dari sini” jawab
Ana sambil menunjuk arah sekira rumahnya
“Yasudah, kalau begitu biar kami temani saja sampa
kedepan rumahmu” ajak Wawan
“Wah, gak ngerepotin nih Wan?” sambil memasukkan gawai ke dalam tas
“Nggak kok, lagi pula kebetulan searah sama kosanku”
Selama
diperjalanan Ana lebih sering ngobrol denganku dan banyak bertanya tentang
keindahan alam di kampungku. Sesekali aku bercanda untuk mengajaknya ke
kampungku sekalian kukenalkan dengan orang tuaku, hehehe. Walaupun sebenarnya
serius sih aku menawarinya untuk datang kekampungku hanya saja aku tidak siap
dengan penolakan yang dia katakan, seandainya aku menawarkannya dengan cara
yang serius.
“Nah, ini rumahku. Dekat kan dari kampus dan café
tadi”
“Iya, enak ya rumahmu pas ditengah-tengah antara
kampus dan cafe” seru ku
“Kapan-kapan, kalian mampir ya kerumahku”
“Ok, Ana” jawab
kami berbarengan
“Terimakasih ya sudah mau menemaniku sampai ke rumah”
Pada
sabtu pagi, gawaiku berdering keras sekali, aku cek ternyata telepon dari Ana.
Panggilan terlewat 8 kali “Astagfirullah!” aku tertidur begitu pulasnya.
Obrolan dalam telepon:
“Halo, dengan Danu?” tanya Ana
“Iya, dengan saya sendiri. Maaf ini siapa ya?”
“Ini aku Ferliyana, masih ingat?”
“Hmm… ooh Ana, iya saya ingat, maaf saya tadi masih
tidur jadi ndak tau kalau kamu telepon” sambil
menguap
“Aku dong yang seharusnya minta maaf kalau begitu
karena sudah menggangu tidurmu”
“Hehe, ndak ganggu kok”
“Ohhya, kamu minggu ada rencana mau kemana?”
“Ndak tau”
“Kamu mau nggak mampir kerumahku?”
“Rumahmu!?” tersentak
kaget
“Iya, rumahku. Datang ya jam 4 sore, aku tunggu”
“oke InsyaAllah ya, Na”
Ana dapat nomerku entah dari mana, yangku tahu
barusan aku bangun tidur dan menerima telepon dari dia. Yasudahlah. Sebenarnya
aku ada acara besok untuk berkeliling dan mencicipi makanan khas disini tapi
Ana mengajakku main kerumahnya. Apa aku ajak saja ya dia untuk ikut denganku
besok, mudah-mudahan saja dia mau.
Minggu
tiba pikiranku dibayangi ucapan-ucapan Ana yang menawariku mampir kerumahnya. “mau
nggak mampir kerumahku?” (“mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir
kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?” “mau
nggak mampir kerumahku?” “mau nggak mampir kerumahku?”) Sudah pukul 15.40 tiba-tiba
aku mules dan keringat dingin, ada apa denganku ini. Entahlalah. Setelah keluar
dari kamar mandi, aku langsung berjalan kaki kerumahnya yang kebetulan dekat
dari kampus. Selama diperjalanan aku mengarang berbagai bahan untuk diobrolkan
karena ini pertama kalinya aku diajak perempuan untuk mampir kerumahnya dan
entah kenapa mentalku selemah ini. Tepat dipintu rumahnya, aku baru ketok satu
kali, tiba-tiba. Krreeek… Ana sudah berada
dibalik pintu, langsung sigap membukakannya untukku. Aku melihat ia sangat
ceria sore itu, dengan wajah berseri yang tipis bedaknya, bibir basah merah muda,
kaos merah muda bergambar pemandangan kota Bandung dan rok putih selutut. Dia
sangat cantik, aku baru menyadarinya sekarang.
“Assalamualaikum”
sambut Ana
“Walaikumussallam”
jawabku
“Loh, seharusnya aku yang salam lebih dulu toh?”
“Hahhaaha, kamu terlambat. Jadi aku yang mengucapkan
lebih dulu” sambil tertawa menawariku
duduk dibangku rotan dengan dudukan bantal busa
“Ada-ada saja kamu, loh aku pikir ada Wawan atau
temanmu juga disini?” tanyaku keheranan
“Tidak ada, aku hanya mengajakmu saja. Ohya sini,
aku kenalkan dengan Ibuku” sambil
mengajak Ibunya menemuiku
“Saya Danu temannya Ana” sambil menyalami Ibunya
“Selamat datang ya disini, kamu kuliah dimana?” Tanya ibunya Ana
“di ITB Bu, ngambil jurusan Seni Rupa”
“Ooh seni rupa ya” keheranan
“Kalau lulus mau kerja apa?” Tanya ibunya Ana
“Prospek kerjanya bisa menjadi illustrator,
perancang grafis, guru, atau pelukis Bu”
“Ooh begitu, yasudah silakan lanjut ngobrolnya, Ibu
mau ke dapur dulu”
“Iya Bu, makasih”
“Kamu sudah jalan-jalan kemana saja selama disini” tanya Ana
“Ke kampus, café, Tangkuban perahu, dan kesini.
Hehehehe”
“Hahaha masa hampir empat tahun cuma kesitu-situ
saja sih kamu”
“Iyaa aku juga bingung hehe” sambil mengelus dengkul
“Ohyaa, kemarin pagi Wawan kesini lhoo ngajaku pergi
ke kebun binatang”
“Seru dong?”
“Iya biasa-biasa ajah sih, disana tuh aku liat
jerapah, panda, ayam, harimau, ikan besar, musang, burung, gajah, sama kamu”
“Lohh, aku???”
“Hahahaha, iya kamu”
“Hmmm gak tau ah”
Kring (Suara oven) Ternyata Ana membuatkanku kue dan teh
hangat yang katanya dipetik langsung dari kebun teh dibelakang rumahnya.
“Silakan minum tehnya” seru Ana
“Iya, makasih Na”
“Jalan-jalan ke taman Ganesha yuk”
“Kamu tau jalannya?”
“Tahu dong, yuk”
Selama diperjalanan Ana bercerita hampir setengah
bagian dari hidupnya ya mungkin yang kudapat sekitar dua pertiga atau 4 persen
dari seluruh kehidupannya. Ana bercerita banyak hal tentang Bandung dari kuliner
yang enak-enak dan beraneka ragam, tempat wisata yang tersebar disetiap kota
dengan keseruannya masing-masing, tempat-tempat romantis yang dia impikan untuk
dikunjungi bersama orang pilihan hatinya. Bahkan dia cerita kalau Wawan pernah
mengajaknya untuk berpacaran tetapi Ana menolaknya karena tidak memiliki perasaan
apapun kepada Wawan, ia hanya menganggapnya sebatas sahabat tidak lebih.
Beberapa kali memang Wawan pernah main kerumahnya tanpa diundang dan itu
sungguh membuat Ana kesal karena seringkali kehadirannya mengganggu kegiatan
yang sedang dilakukannya. Aku menengadah ke langit, bintang-bintang bersebaran menerangi
jalan kami yang semakin remang, aku melihat mata kanannya disana hanya ada aku
dan rembulan pada mata kirinya ada aku dan Ana. Terpancar terang cakrawala,
mendamba kilauan cahaya, mencumbu, merengkuh terbuai angan-angan. Saling
memandang berserk-seri, sinar matanya menghadang, terjun makin dalam melewati
bintang dan berakhir di rerumputan. Dadaku berdegup kencang bertanya-tanya ada
apa gerangan. Malam mulai renta berselimut impian yang tetap terjaga nalar
mengajak naik kesinggahsana namun jiwa belum terukur sudah mencapai mana.
Betapa
senangnya lelahku hari ini, sudah mandi dan sikat gigi. Aku masih terbayang Ana.
Ana kini mungkin dekat denganku, Ana nanti entah milik siapa. Lantas aku
berpikir entah siapa yang nanti akan menjadi jodohnya, Ana perempuan baik,
anggun, adabnya baik, dan juga cantik, aku rasa suaminya nanti adalah orang paling
beruntung di dunia. Hari-hari berlalu selalu ditemani dengan Ana entah itu lewat
obrolan WA, telepon atau juga video call aku
menjadi sangat semangat menjalani hidupku sekarang. Pada suatu malam sekitar
pukul 19.30 Ana menelponku.
“Hai, sedang apa?” tanya Ana
“Aku lagi menggambar saja dikosan” jawabku
“Aku ganggu gak?”
“Ndak, santai saja Na”
Tiba-tiba
terdengar suara Ibunya yang sedang berbicara pada Ana
“Telepon siapa kamu malam-malam begini?” tanya ibunya Ana
“Danu, Bu” jawab
Ana
“Oh temanmu yang jurusan seni rupa itu ya”
“Iya, Bu”
“Kamu jangan terlalu dekat sama dia apalagi sampai jatuh
cinta, Ibu tidak setuju kalau kamu sampai pacaran sama dia, Na”
“Ihh Ibu siapa juga yang pacaran sih”
“Iya, Ibu takut saja karena kalau lulusan seni rupa
itu kan kerjaannya nggak jelas, lebih baik kamu sama Wawan teman sekelasmu dia
tampan dan calon arsitek juga sama sepertimu”
“Duuh Bu, jodoh dan rezeki itu kan sudah diatur Tuhan”
“Iya, Ibu hanya kasih tau kamu saja agar tidak salah
pilih calon suami, carilah yang sudah mapan, punya pekerjaan jelas, dan menjadi
karyawan tetap supaya hidupmu makmur dan sentosa”
“Sebentar Bu”
Kembali ke
obrolan dengan Danu
“Maaf ya Danu, tadi Ibuku tiba-tiba ngajak ngobrol”
“Iya ndak apa-apa”
“Sudah dulu ya telponnya”
“Iya, Na”
“Selamat malam, Danu”
“Malam juga Ana”
Tiiitttttttttttclik…
Huftt mapan.
BalasHapus