Interferensi

Disamping sebagai makhluk individu manusia juga makhluk sosial yang memiliki anugerah berupa daya komunikasi untuk mendukung dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan tujuan hidupnya dengan menjalin kerjasama dengan manusia yang lain. Dalam berkomunikasi, setiap dari kita membawa bahasa dan budaya berbeda yang dapat disebabkan oleh lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah/kampus atau lingkungan kerja sehingga menimbulkan kedwibahasaan. Menurut Nababan (1984), “ Interferensi merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu (bahasa pertama) atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua (bahasa kedua).” Ketika seseorang mempelajari  bahasa  kedua entah itu bahasa daerah atau bahasa asing,  seringkali  terjadi  percampuran antara bahasa pertama (B1) dengan   bahasa   kedua (B2). Percampuran ini dianggap sebagai penyimpangan atau kekacauan berbahasa. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah interferensi. “Interferensi adalah perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan persentuhan bahasa itu dengan unsur-unsur bahasa lain  yang terjadi pada penutur dwibahasa.” (Abdul Chaer, 1995). Menurut Adisumarto, (1993), “Kedwibahasaan merupakan proses penggunaan dua bahasa secara bergantian. Penutur dwibahasa seringkali menyamakan hal-hal tertentu antar bahasa pertama dengan bahasa kedua sehingga terjadilah interferensi unsur bahasa satu dengan bahasa lainnya.”

Bahasa dalam seni sastra merupakan sarana yang diolah secara khusus yang menjadikan sebuah karya memiliki nilai lebih dari sekadar bahasa biasa. Selain itu, bahasa dalam sebuah karya sastra merupakan sarana pengungkapan pikiran yang nilai lebihnya tersebut hanya bisa diungkap dan ditafsirkan melalui bahasa. Unsur-unsur bahasa asing, bahasa daerah, dan bahasa gaul dengan sangat mudah masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui berbagai media sehingga menimbulkan bahasa campur-campur karena sangat banyak terdapat istilah asing (terutama bahasa Inggris), bahasa daerah, dan bahasa gaul. Bahasa inilah yang setiap hari memperkaya kosakata bahasa Indonesia dan memperkaya khazanah istilah asing yang diindonesiakan dalam ilmu pengetahun, teknologi, dan dialektika. Sebenarnya, sebagian besar kosakata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Barangsiapa yang menggunakan bahasanya dengan baik dan benar niscaya cintanya terhadap bahasa itu sendiri tak perlu diragukan.

Interferensi sebenarnya merupakan gangguan berbahasa karena terdapat kontaminasi  antara satu kaidah bahasa ke dalam kaidah bahasa lain baik saat berbicara maupun saat menulis. Interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, diantaranya dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentuk kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik). “Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari.” Chaer dan Agustina (1998: 165).

Ada kalanya seorang penulis dalam proses cipta sastra baik berupa cerpen, novel, atau naskah drama mengeksploitasi interferensi dengan maksud menarik minat dan mempermudah pemahaman pembaca yang beraneka ragam. Pengetahuan atau penggunaan beberapa kosakata yang memunculkan interferensi dapat datang dari bahasa mana saja, serta akan dicarikan pula padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Sebaiknya, setelah itu penulis memperbaiki kalimat-kalimat yang mengalami interferensi menjadi kalimat yang baik sesuai dengan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) dan benar sesuai dengan situasi dan kondisi di masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari terjadinya interferensi memang sulit untuk dihindari. Ketika berkomunikasi, seyogyanya kita mampu melihat situasi, kondisi, dan lawan bicara. Jika dalam suasana formal sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebaliknya, jika dalam suasana informal, seperti ngobrol bisa menggunakan bahasa nonformal untuk menghindari kekauan ketika komunikasi berlangsung. Dalam situasi ini, penggunaan bahasa informal bukan sebagai suatu pengacauan melaiankan sebuah kewajaran. Berbeda ketika dalam situasi formal seperti pidato namun memilih menggunakan bahasa informal hal itu menimbulkan kerancuan atau gangguan dalam berbahasa.

Interferensi yang terjadi kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya; Faktor pertama adalah kedwibahasaan bahkan kemultibahasaan penutur, pemahaman penutur terhadap bahasa daerah dan bahasa asing lainnya menyebabkan terjadinya kurang kontrol terhadap bahasa yang digunakannya. Faktor kedua adalah sinonim, unsur leksikal bahasa daerah atau bahasa asing yang digunakan oleh penutur adalah sebagai variasi dalam pemilihan kata dengan demikian, pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang dapat menimbulkan kebosanan atau kejenuhan dapat dihindari. Faktor ketiga adalah prestise bahasa daerah dan bahasa asing lainnya, penutur ingin menunjukkan bahwa ia menguasai bahasa yang dianggap berwibawa tersebut. Faktor keempat adalah kurangnya rasa cinta penutur terhadap bahasanya sendiri, yakni bahasa Indonesia sekaligus bahasa nasionalnya. Kecenderungan ini menimbulkan sikap kurang positif terhadap bahasa Indonesia. Faktor kelima adalah unsur bahasa asing dan bahasa daerah yang digunakan lebih singkat atau lebih pendek daripada padanannya dalam bahasa Indonesia sehingga penutur cenderung menggunakan bahasa tersebut. Faktor keenam adalah unsur bahasa asing dan bahasa daerah memang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia, sehingga  terjadi pengecualian dalam faktor ke enam ini dan diharap maklum adanya.


Komentar

Postingan Populer