Alih Kode dan Campur Kode
            Bangsa
Indonesia memiliki 718 bahasa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari
Miangas sampai Pulau Rote. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai Negara ke-2
yang memiliki khazanah bahasa terbanyak di dunia. Khazanah bahasa tersebut
merupakan kekayaan budaya bangsa yang menyimpan tata nilai, etika, dan moral
yang ekspresinya dapat kita lihat dalam berbagai bentuk kebahasaan, seperti
pilihan kosakata dalam tuturan, ungkapan tradisional, pantun, cerita rakyat,
sejarah setempat, mitos, dan legenda.
Pemuda-pemudi dalam melepas penat atau sekadar menghabiskan
waktu seringkali mengunjungi warung kopi (warkop) untuk bersantai dan bersenda
gurau bersama teman-teman. Warung kopi “Babeh
Gahul” yang terletak dipojok komplek dan dikelilingi pohon-pohon rindang
menjadi tempat favorit muda-mudi setempat dan sekitarnya untuk memanjakan jiwa
dan raga yang penat setelah seharian ada yang bekerja, kuliah, rebahan, dan
menganggur. Apapun kegiatannya harus dirayakan dengan kopi karena kopi adalah
renungan dan kenangan, setiap meneguk kopi renungkanlah apa yang sudah terjadi
dan syukuri nikmatnya. Penggunaan bahasa yang terdapat dalam interaksi
masyarakat di Warung Kopi, yaitu bentuk dan fungsi alih kode serta campur kode
dalam interaksi berupa tuturan langsung antar masyarakat warkop. Tuturan yang
dimaksud, yaitu dalam bentuk percakapan yang memuat kata, frasa, klausa, dan
kalimat yang memiliki unsur alih kode dan campur kode serta fungsi terjadinya
alih kode dan campur kode. Menurut Myres dan Scotton (Piantari dkk. 2011: 13),
berpendapat “alih kode adalah peralihan penggunaan kode bahasa satu ke kode
bahasa yang lainnya, sedangkan campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari
satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa,
termasuk di dalamnya pemakaian kata, frasa, klausa, idiom, dan sapaan.”
            Di
wilayah Kota Depok agak ke dalam sedikit, masyarakatnya merupakan penutur dari
beberapa bahasa diantaranya; bahasa Jawa, bahasa Betawi, dan bahasa Sunda
sebagai bahasa pertamanya (B-1), di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa
kedua (B-2). Saya sering mendengar dan menyaksikan peralihan atau fenomena
pencampuran kode dari bahasa-bahasa tersebut ke bahasa Indonesia dan sebaliknya
dari bahasa Indonesia ke bahasa-bahasa tersebut. Hal ini terjadi karena bahasa
Indonesia telah menjadi bahasa pergaulan yang berdampingan dengan bahasa
daerah. Terjadinya alih kode dan campur kode tersebut karena tidak ada aturan
yang mengikat dan melarang penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian
dalam peristiwa tutur pada setiap konteks komunikasi demi terciptanya
kelancaran dalam komunikasi, dan bercerita. Menurut Chaer dan Agustina (2010:
47), “peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi
linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
penutur dan mitra tutur dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan
situasi tertentu.”
Peristiwa peralihan/pergantian kode bahasa yang satu
ke kode bahasa yang lain terjadi apabila seorang penutur (pembicara) mula-mula
menggunakan bahasa Jawa, dan kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia,
peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode yang dapat
terjadi karena penutur paham bahwa mitra tutur (lawan bicara) memiliki
pemahaman bahasa yang berbeda. Menurut (Kitu 2014: 52), “alih kode merupakan
salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa (language depedency) di dalam masyarakat multilingual hampir tidak
mungkin seorang penutur menggunakan bahasa secara murni tanpa sedikit pun
memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain.” Keberadaan teman-teman yang
memiliki latar belakang kemampuan bahasa yang berbeda, ada beberapa yang
multilingual, namun dengan citra kopi yang sama yaitu kopi roso-roso, bubur
kacang ijo diaduk atau tidak diaduk, dikunyah atau langsung telan, tidak
menjadi hambatan dalam keberlangsungan berbagi rasa.
Hubungan timbal balik yang terjadi  antara penutur (pembicara), mitra tutur (lawan
bicara), bentuk bahasa, dan fungsi bahasa dengan latar belakang sosial yang
berbeda cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk menjunjung tinggi
kelancaran dan kenyamanan selama berbagi rasa baik duka atau suka. Campur kode
memiliki tujuan untuk mempermudah dalam menyampaikan informasi, menghormati
mitra tutur, dan memperjelas ucapan dengan menyisipkan bentuk kata, frasa, dan
klausa bahasa daerah ke dalam bahasa yang dapat dipahami biasanya adalah bahasa
Indonesia. Menurut Suwito (Pengantar Awal
Sosiolinguistik.1985: 78-80), berpendapat “berdasarkan unsur-unsur
kebahasaan yang terlibat di dalamnya campur kode dapat dibedakan menjadi
penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, penyisipan unsur-unsur yang berwujud
frasa, dan penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.” “Campur kode merupakan
penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya
bahasa atau ragam bahasa, termasuk di dalamya pemakaian kata, klausa, idiom,
dan sapaan.” Kridalaksana, (2008).
            Jenis
alih kode yang terjadi dalam percakapan di lingkup pewarkoppan meliputi alih
kode: (a) alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Betawi, (b) alih kode dari
bahasa Indonesia ke bahasa Sunda, (c) alih kode dari bahasa Betawi ke bahasa Sunda
dan Jawa, (d) alih kode dari bahasa Sunda, dan Jawa ke bahasa Indonesia, (e)
alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, dan Sunda. Faktor-faktor
penyebab terjadinya alih kode dan campur kode di lingkup pewarkoppan di Kota
Depok meliputi: (a) faktor kebiasaan, (b) faktor kebahasaan, (c) faktor tidak
ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai, (d) faktor latar
belakang sosial dan budaya penutur, (e) menyesuaikan kode yang dipakai lawan
bicara, (f) kehadiran orang ketiga, (g) sekadar bergengsi, (h) tujuan untuk
mengungkapkan sesuatu, (i) menunjukkan bahasa pertama, dan (j) faktor topik
pembicaraan. Faktor yang paling sering terjadi adalah faktor kebahasaan. 
Komentar
Posting Komentar