Penyair Idealis Atau Penyair Realistis
Memilih menjadi penyair sebagai profesi
utama merupakan pilihan yang sangat menantang, sebab tak sering karya-karyanya
hanya menjadi arsip di laptop atau sebatas pemenuh rak-rak buku di toko buku
atau di bazar buku. Tenaga, pikiran, dan biaya yang dikeluarkan penyair tidak
berbanding lurus dengan kebutuhan hidupnya apalagi jika seorang penyair sudah
memiliki istri dan anak. Sangat jarang orang yang mau menggunakan uangnya untuk
membeli karya sastra tetapi selalu ada harapan dalam setiap usaha. Jika seorang
penyair sudah mampu membuat buku dan menerbitkannya, missal; dalam satu bulan
mungkin seorang penyair mampu menjual buku novel sebanyak 1-3 buah dari 12 buku
yang diterbitkan dengan harga yang ditetapkan oleh penerbit dan penyair
sekaligus penulis atas karyanya biasanya mendapat bagian sebesar 15% - 25% dari
hasil penjualan karyanya. Apabila satu buku diharga Rp 60.000,00 . Berarti
penyair akan menerima pendapatan Rp 9.000,00 ( Rp 60.000,00 x 15% : 100%).
Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei
tingkat pembaca sastra di Indonesia pada hari Kamis, 11 Januari 2018. Hasilnya,
jumlah pembaca sastra di Indonesia hanya 6,2%. 46,8% pembaca yang ingat judul
buku dan nama pengarangnya. Data menunjukkan bahwa pembaca sastra cenderung
lebih ingin terlibat dalam kegiatan sosial dibanding yang tak membaca sastra
atau 65,7% berbanding 48,5%. Pembaca sastra lebih cenderung ingin berderma
untuk lingkungannya atau 86,5% berbanding 67,7%. Temuan LSI ini sejalan dengan riset
yang dilakukan banyak lembaga internasional. Salah satunya New School of New
York City pada 2013. Pembaca sastra dianggap cenderung lebih berempati mampu
merasakan pikiran dan perasaan orang lain. Tingkat pendidikan turut andil dalam
menentukan pernah atau tidak membaca sastra. Variabel lain adalah tingkat
pendapatan, masyarakat yang penghasilannya di atas Rp2 juta/bulan sebesar 8,2%
membaca sastra. Masyarakat yang penghasilannya di atas Rp1 juta/bulan sebesar
7% membaca sastra. Sementara itu, masyarakat yang penghasilannya hanya di bawah
Rp1 juta per bulan hanya 3,3% yang membaca sastra. Survei LSI ini dilakukan
kepada 1.200 responden dengan populasi publik di atas 17 tahun. Mereka yang
dipilih berdasarkan metode multi stage random sampling. Eksplorasi responden
melalui wawancara tatap muka. Survei dikerjakan di 34 provinsi, dari Aceh
hingga Papua, pada Desember 2017. Margin of error riset ini sebesar sekitar 2,8
persen.
            Apakah
penyair bahagia, dan banyak uang ???
Sudah jadi rahasia umum bahwa penyair itu adalah salah
satu profesi dengan penghasilan ghoib. Sejarah tidak pernah berubah, baik sejak
zaman penyair angkatan ‘45 yang dipelopori oleh sosok terkenal tapi miskin
sekali seperti Chairil Anwar, ia suka mencuri buku lalu setelah buku itu
selesai dibaca dia jual lagi ke pedagang loak hanya agar bisa berkencan dengan kekasihnya,
penyair era ‘65, lalu penyair angkatan Malioboro, bahkan angkatan milenial
belakangan ini.
Kalau kita sering mendengarkan ceritanya Cak Nun
tentang seputar penyair-penyair Malioboro tahun 70-an, maka citra kemiskinan pada
penyair sungguh makin diakui dan sahih. Mereka menggelandang siang dan malam di
seputaran Malioboro hanya untuk menyelami kehidupan puisi. Penyair tidak punya
pekerjaan tetap sebagaimana manusia pada umumnya hanya agar ilhamnya tetap
murni, tidak terkontaminasi kegiatan-kegiatan duniawi yang bersifat praktis.
Mereka tak punya penghasilan tetap, bahkan ada yang sampai kesulitan membeli
rokok sampai makanan. Singkatnya, dinasibkan menjadi penyair adalah dinasibkan
menjadi manusia kere. Namun, ada hal lain yang harus digarisbawahi, bahwa
penyair kere atau miskin itu adalah penyair yang “murni” dan totalitas
mengabdikan dirinya menjadi penyair. Hal ini disebabkan karena penyair semacam
ini tidak merangkap menjadi penulis artikel atau esai mingguan di koran atau
menulis cerpen untuk media, demi mendapat honor yang lebih pasti dan jelas.
Jika si penyair masih punya bisnis sampingan seperti
warung kopi, berdagang gorengan, jadi ojek online, jadi kuli serabutan maupun jadi
karyawan swasta, atau bahkan jadi ASN seperti penyair W. Hariyanto, Jamil
Massa, kurator seni seperti Jengki Sunarta, atau bahkan politisi sekelas Fadli
Zon. Maka label penyair miskin tentu akan sirna. Kalau seorang penyair yang tetap
nekat dengan modal “cinta” dan totalitas pada sastra, dalam menghidupi dan
dihidupi puisi cara agar tak kere bagaimana? Sedangkan satu dolar saja sudah
tembus Rp 14.000 seperti sekarang ini dan cenderung melemah. Ada pembaca yang
mengeluhkan harga satu buku karya sastra sangat mahal padahal hanya berisi
kurang dari 60 halaman. Bagi pembaca membeli sebuah karya sastra merupakan
kebutuhan tersier dimana harus memenuhi kebutuhan primer dan sekunder terlebih
dahulu sebelum beranjak pada kebutuhan lain. Memenuhi kebutuhan primer saja
sulit, bagaimana untuk menikmati sebuah karya sastra yang dibeli secara legal
dan orisinil. Sementara itu, setiap bulan selalu ada buku-buku baru yang
terbit.
Lalu, yakin masih pengen punya cita-cita
jadi penyair tok?
Ya mungkin tak salah jika kalian punya angan-angan
demikian dengan maksud untuk melestarikan budaya bangsa Indonesia. Yang keliru,
bahkan bisa fatal adalah jika punya niat ingin menjadi istri penyair. Memang mau
kebutuhan hidup itu hanya dikasih kata-kata? Memang bisa kenyang kalau cuma makan
puisi cinta? Sebagaimana kutipan lirik lagu dari Jason Ranti yang berjudul Blues Lendir berikut; “…Tempe diganti
rima, tahu diganti kosakata garpu dan sendok berontak pada struktur dan bentuk,
tapi nasi tetaplah nasi perut kosong mana mempan dikasih puisi…” Namun, seorang
musisi indie yang karya-karyanya berupa puisi yang dimusikkan seperti Jason
Ranti mampu menikahi seorang dokter.
Pantas saja jika RM Djojosepoetro, ayah dari
Sumirat, menolak lamaran Chairil Anwar padahal saat itu nama Chairil Anwar
sudah sangat besar dan karya-karyanya banyak dimuat dimedia. Ayahnya Sumirat
tak peduli nama anaknya akan abadi atau tidak dalam puisinya, karena yang dia
pedulikan anaknya jangan sampai hidupnya sengsara mempunyai suami tanpa
keuangan yang jelas. Sangat jelas kedudukan materil itu sangat agung.
Seringkali kita mendengar atau membaca sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa “hidup
di dunia ini adalah fana” --tetapi kenapa uangnya kok asli? Memang absurd hidup
ini ketika seorang penyair bekerja keras menciptakan karyanya datang lagi
sindiran “ngapain kerja keras duit gak dibawa mati” --tetapi orang yang masih
hidup di bumi sudah jelas membutuhkan uang.
Jadi, soal menjadi penyair adalah
manusia kere ini bukanlah kisah rekaan belaka atau sekadar cerita rakyat yang
diceritakan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sejarahnya memang begitu “sialnya” akan terus begitu. Karena orang yang memilih
menjadi penyair bukan agar dihidupi oleh puisi melainkan untuk menghidupi puisi
itu sendiri. Penyair merupakan orang-orang yang rela sebagian besar waktunya
diwakafkan untuk kata-kata, tenaga, dan pikirannya untuk seni, yang konon inti
dari segala seni itu: puisi. Jika seorang penyair itu selain produktifitasnya
membuat karya sastra, penyair akan aman apabila dia misalnya seorang wartawan
sekaligus penyair, seorang guru merangkap penyair dan berbagai pekerjaan
lainnya yang sekiranya dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Komentar
Posting Komentar